Bukannya tidak mau kasih tulisan asli, tapi isi tulisan dibawah ini sangat menggambarkan kegundahan yang sama tentang logika berpikir (serupa dengan tulisan terakhir saya tentang KRL Ekonomi). Informasi penulis ada diakhir tulisan ini.
Naik kereta api
Tut tut tuuuuuut…
Biarpun
kampungan, saya pernah tinggal di Jakarta lho, Bung. Tapi, terus
terang, saya sama sekali belum pernah menggunakan angkutan umum bernama
Kereta Rel Listrik (KRL). Selama di Jakarta, saya dulu biasa naik angkot
non AC, termasuk bemo, dan hepi-hepi saja. Kalau ke Yogyakarta, saya
pun biasa naik kereta api kelas ekonomi alias non AC. Saya maklum pada,
1) kemampuan kantong saya; 2) kondisi kereta api kelas ekonomi.
Nah,
saat ini logika saya sedang rusak, Bung. Oh ya? Iya! Berita seputar
KRL, gara-garanya. Kata Bung, PT. KAI tetap bersikeras menghapus KRL
kelas ekonomi per 1 April 2013, untuk relasi Serpong dan Bekasi.
Alasannya, KRL non AC tersebut sudah berusia tua sehingga tidak aman dan
nyaman, serta suku cadangnya tidak tersedia lagi. Maka PT KAI akan
menggantikannya dengan KRL ber-AC.
Di situlah
rusaknya logika saya sebagai orang awam yang mencoba mengoptimalkan diri
dalam berpikir untuk bangsa-negara (ceile!). Menurut logika kampungan
saya, kereta yang tua itu ya sebaiknya diremajakan kembali dong. Dengan
peremajaan itu tentu saja tidak lagi mempersoalkan suku cadang yang tak
tersedia, dan keamanan-kenyamanan. Lha kok malah akan dihapus? Bagaimana
logika Sampeyan, Bung?
Selanjutnya, apakah PT KAI
tidak mempunyai pabrik sendiri untuk membuat KRL baru? Ah, mosok sih?
Saya tidak percaya lho. Serius, Bung!
Berikutnya,
apakah PT KAI tidak memiliki insinyur-insinyur yang mampu membuat KRL
non AC? Ah, yang benar saja, Bung. Mosok sih para insinyur dan teknisi
PT KAI tidak mampu membuat KRL non AC yang baru? Kan mampu membuat KRL
ber-AC? Super aneh!
Atau, begini saja. Saya usul.
Bagaimana kalau para insinyur dan teknisi di PT KAI yang tidak mampu
membuatnya, dipecat saja. Lho iya! Percuma dong, otak tidak mampu tapi
masih saja dipelihara, digaji, diberi tunjangan, dan lain-lain. Jangan
sampai menghambur-hamburkan uang negara (uang rakyat Indonesia) hanya
untuk menghidupi orang-orang berotak soak itu, Bung.
Saya
juga heran, KRL non AC akan diganti dengan KRL ber-AC. Ini kok maksa
banget sih agar rakyat berekonomi menengah-ke bawah bisa menikmati
kenyamanan versi orang-orang yang selalu hidup dalam ruang ber-AC?
Memangnya murah biaya tiket angkutan umum ber-AC itu?
Bagi
rakyat kelas ekonomi, kenyamanan itu bukanlah persoalan ada atau
tidaknya AC. Apalah gunanya kenyamanan ber-AC jikalau harus menguras
saku mereka. Dengan keuangan yang sudah ngepas bahkan ngepres itu masih
harus mereka kelola sebaik-baiknya. Lha kok malah harus menanggung biaya
AC yang sama sekali bukan kebutuhan prioritas mereka?
Biasanya,
yang ngotot untuk nyaman ber-AC itu adalah orang-orang yang biasa
dimanjakan oleh AC dan memang mampu ‘membeli’-nya. Benar, nggak, Bung?
Kalau Bung beserta para petinggi KAI berpikir bahwa kenyamanan itu,
salah satu faktor penentunya, adalah ber-AC, ya wajar dong. Ruang kerja
Bung-Bung pasti ber-AC. Coba kalau hanya berkipas angin, pasti Bung
ngedumel, “Kerja kok masuk angin melulu? Gimana bisa nyaman?”
Saya
masih tidak habis mengerti, kenapa persoalan non AC malah harus
mengorbankan rakyat kelas ekonomi. Justru saya berpendapat, PT KAI
benar-benar tidak pro rakyat berkelas ekonomi nih. Dikiranya seluruh
rakyat itu selalu berduit buanyak sehingga mampu membiayai tiket KRL
ber-AC? Bah! Sampeyan belum pernah hidup melarat ya, Bung?
Logika,
Bung. Sekali, logika. Pakai logika selogis-logisnya logika, jangan
pakai dengkul melulu. Apakah Sampeyan-sampeyan itu sudah menghitung
berapa penghasilan rakyat yang berkelas ekonomi sehingga wajib
menumpangi KRL ber-AC? Kalau tidak mampu berhitung, serahkan kepada
ahlinya dong. Biar dihitung dulu, baru rencana disampaikan. Dan, kalau
sebatas rencana, tidak usahlah dipaksakan untuk diwujudkan. Repotnya,
kalau Bung belum pernah jadi orang melarat, ya begitu itu keputusan
Bung.
Sampeyan-sampeyan memang mendapat hak penuh untuk membuat keputusan apa pun. Tapi, ingat “tapi”, mbok yao
pakai logika berkebangsaan dan berkeadilan sosial bagi SELURUH rakyat
Indonesia dong. Baca baik-baik, SELURUH rakyat, bukan sebagian-sebagian
yang khususnya pada bagian rakyat yang terbiasa hidup ber-AC. Coba
lakukan survey seakurat-akuratnya survey, apakah semua rumah rakyat
kelas ekonomi itu ber-AC.
Hargai dong rakyat kelas
ekonomi yang selama ini hanya mampu membayar tiket non AC. Mereka tidak
memikirkan kenyamanan AC (karena bukan prioritas dalam hidup mereka)
melainkan bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Mereka bertanggung
jawab bagi keluarganya agar tetap mampu menghadapi tantangan hidup yang
kian mahal ini.
Bersyukurlah, Bung, mereka masih
mau bekerja keras untuk menjaga nama baik Indonesia dari kategori negara
melarat peringkat pertama sedunia. Mereka tidak mengemis, apalagi
mengemis di sepanjang rel kereta api. Saban hari mereka bersusah payah
dengan aroma dalam gerbong yang tidak senyaman kelas AC demi menghidupi
keluarga. Dan bersyukurlah, mereka tidak melakukan pemberontakan alias
revolusi, Bung.
Hargai juga kerja keras mereka
itu, yang sama sekali tidak terlibat aksi korupsi seperti sebagian
pengelola negara yang kelihatannya mentereng tapi sejatinya maling
belaka. Oknum-oknum itu kelihatannya mentereng dengan segala fasilitas
ber-AC yang jelas nyaman tetapi semua itu didapat dari merampok.
Merampok, Bung. Merampok.
Sekali lagi, pakai
logika dong, Bung. Negara pun wajib menyejahterakan rakyatnya, bukan
menyelamatkan koruptornya. Kalau negara tidak mampu lagi menyejahterakan
rakyatnya, apakah masih pantas disebut negara? Coba renungkan, Bung.
Dan,
jika sebuah negara tanpa rakyat, mungkinkah? Sampeyan pasti bilang,
“Tidak mungkin.” Nah! Apakah seluruh rakyat diwajibkan untuk hidup
kaya-raya? Tentu tidak, kan? Yang namanya rakyat, tidaklah seluruhnya
kaya-raya. Makanya, Bung, pakai logika selogis-logisnya logika, jangan
dengkul melulu yang diandalkkan untuk maju dalam berkeputusan.
Bung sempat beralasan pula bahwa biaya subsidi tiket penumpang ekonomi yang seharusnya ditanggung pemerintah melalui dana public service obligation (PSO) kerap datang terlambat. Lho, itu, kan bukan kesalahan rakyat kelas ekonomi, Bung?
Soal
bayar-membayar begitu jelas banget deh bukan kesalahan rakyat kelas
ekonomi. Tapi, kok kelihatannya malah mengorbankan rakyat kelas ekonomi
ya? Logika saya kok jadi rusak-berantakan ya, Bung? Tega nian Bung
memorak-poradakan logika saya yang dangkal ini.
Tapi,
yach, apa boleh buat. Beginilah repotnya kalau pengelola transportasi
massal milik negara hanya berorientasi pada keuntungan profit tanpa
memikirkan kondisi ekonomi rakyat. Rakyat yang sedang berjuang
menaklukkan tekanan kebutuhan hidup, masih saja diperas untuk
menguntungkan negara. Bisa makin botak saya kalau begini, Bung!
Saya
pun berpikir, apakah negara ini sedang jatuh miskin/melarat sehingga
terpaksa memeras sumsum-darah rakyat sedemikian rupa melalui BUMN-nya.
Lagian, mosok sih BUMN itu singkatan dari “Berorientasi Untung Melulu
Nih” atau “Berorientasi Untung Meskipun
Nabok/Nempeleng/Nampar/Ngemplang/Nendang/Nginjak/Ngisap/Nindas”? Ah,
mosok sih sekeji itu? Mohon, jangan bikin saya mengalami kebotakan total
dalam memikirkan semua ini.
Menurut saya,
sepatutnya negara, melalui BUMN-nya, tetap berbelaskasihan kepada rakyat
kelas ekonomi yang selama ini gigih (tidak cengeng) dalam menyiasati
nasib di Negeri Para Koruptor ini. Keringat dan darah mereka adalah
jimat paling bertuah bagi keluarga mereka. Ketika keluarga mereka bisa
terjamin, niscaya cukup untuk meredam gejolak emosional mereka terhadap
tawa-ngakak para pengkhianat rakyat yang kerap tertayang di layar
televisi.
Juga PT KAI, sewajibnya lebih teliti dan
bijak dalam mengalkulasikan untung-rugi. Eling, Bung, hidup tidaklah
melulu meraup keuntungan (profit). Keuntungan profit untuk KRL ber-AC
dapat dialokasikan (subsidi silang, begitu deh istilahnya) untuk
menanggulangi kerugian pada KRL non AC. KRL ber-AC, yang nyaman, dan
mampu dibayar oleh penumpang berduit banyak, bisa menjadi penopang bagi
rakyat kelas ekonomi sehingga terjadi sinergi yang adil-harmonis dalam
tatanan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Coba deh Pak Dirut PT KAI meniru gaya Mas Jokowi, blusukan
ke stasiun-stasiun KRL, bertanya langsung pada rakyat kelas ekonomi.
Kalau takut dikeroyok bahkan digebuk habis-habisan, menyamarlah sebagai
siapa, gitu. Dengarkan secara cerdas-cermat keluhan-keluhan dan
harapan-harapan mereka. Inventariskan baik-baik.
Terakhir
nih, di manakah Dahlan Iskan? Saya bertanya begitu lantaran saya
menduga bahwa menteri yang suka cengengesan satu ini sama sekali tidak
pro rakyat kelas ekonomi. Cengengesannya identik dengan pelecehan
terhadap rakyat kelas ekonomi. Bahkan, cengengesannya cenderung
mencederai hati rakyat kelas ekonomi serta merusak logika saya.
*******
Balikpapan, 26 Maret 2013
Penulis adalah Agustinus Wahyono (Gus Noy), Cerpenis, tinggal di Balikpapan
9 comments:
KRL gak ada habis-habisnya ya cerita tentang kertea. Mudah-mudahan aja kedepannya bisa lebih baik lagi
Aku tertawa-tawa mbacanya, Mas.. Yang nulis lucu sih.. Lagian aku blom pernah naik kereta api yang berbunyi tut..tut..tuut..itu. Cuma tau nyanyinya doang.. :D
mbak lidya...terlalu banyak bahan yg bisa dibuat stand up comedy. Seandainya saya comic seperti si erry banyak banget bahannya tuh hehehehe
dewi....apa kabarnya?? namanya penulis ,,,bahasanya keren abiss dan straight to the point sambil sindir sana sini ....mantap khan??
Saya tidak butuh KRL pake AC, perjalanan cuman 40 menit aja kok mesti pake AC, kipas angin aja cukup kok.
Matiin aja semua AC-nya dan jadiin single tarif ekonomi, beres deh
Mampir dong ke Visit humorbbm.com!
baik gan inzra....hehehhehehe. segera meluncur kesana deh....:-)
Siapa tahu PT. KAI mau menghilangkaan Gerbong Ekonomi dan diganti dengan Ber-AC tapi harga EKonomi... ALhamdulillah ya....
Siapa tahu PT KAI akan memberlakukan Gerbong Ber-AC tapi dengan harga ekonomi...
Thanks ffor writing
Post a Comment