Alhamdulillah, saya dititipkan oleh Allah SWT tiga orang anak yang sehat jasmani dengan karakter yang berbeda-beda. Sejak anak pertama lahir hingga yang ketiga, saya dan istri sepakat untuk memberikan yang terbaik buat anak-anak. Apalagi saya teringat dengan perkataan Aagym yakni untuk keluarga jangan berikan mereka dengan sisa waktu untuk mendapatkan yang terbaik, namun berikan mereka dengan waktu yang penuh agar mereka dapat tumbuh dengan baik.
Berawal saat si sulung (kelas 3 SD) memiliki masalah dalam belajar khususnya di sekolah, dimana konsentrasi belajarnya (bisa dibilang mogok belajar deh karena selama hampir 3 bulan, buku tulisnya kosong) tiba-tiba hilang padahal di kelas 1 dan 2 tidak ada masalah sama sekali. Bersamaan dengan itu, si bungsu baru saja lahir dan cukup membutuhkan perhatian khusus terkait dengan kesehatannya. Sebagai orang tua, tentu saja ingin memberikan solusi atas permasalahan diatas.
Sebagai gambaran karakter si sulung adalah directive, goal-oriented (kalau udah mau sangat sulit untuk merubahnya), rule unconscious (cenderung mengabaikan peraturan), un-organized (tidak terorganisasi khususnya untuk urusan sekolah), high achieving (hanya untuk yang dia tertarik saja), competitive, terakhir self ego yang tinggi dan menyebabkan kurang banyak teman.
Sebaliknya karakter anak kedua (saat itu duduk di TK B) sangat teratur apalagi yang terkait dengan sekolah, well organized dengan barang-barangnya, rule consicious (penurut dan mengikuti peraturan dengan baik), logic thinking, responsible, dan very tolerant sehingga memiliki teman yang banyak di sekolah.
Akhirnya saya membawa si sulung ke psikolog anak dengan harapan dapat memberikan perubahan cepat kepadanya agar tidak terlalu tertinggal pelajarannya. Niat awal hanya membawa si sulung, namun akhirnya anak kedua saya daftarkan juga tapi saat mendaftarkan dia, kami rada bingung waktu ditanya apa masalahnya hingga dibawa ke psikolog karena memang selama ini He is a nice boy.
Singkat cerita, ternyata anak kedua terkena (istilahnya) sindrom anak tengah yang merasa terabaikan karena perhatian saya dan istri terfokus dengan si sulung yang punya masalah belajar dan si bungsu yang bermasalah dengan kesehatannya. Being A Nice Kid ternyata salah satu upaya dia mendapatkan perhatian lebih dari saya dan istri namun reaksi saya dan istri malah merasa hal itu biasa saja.
Begitu mendengar penjelasan psikolog (atas hasil observasinya), kami langsung merasa bersalah karena tidak sengaja melakukan diskriminasi (kalau boleh ambil istillah ekstrimnya) perhatian. Kami merasa dia bisa mandiri dan tanpa ekstra perhatian dapat melakukan kegiatan sebagai pelajar pada umumnya.
Pernah saya menonton acara Nanny 911 di Metro TV, pada episode tersebut seorang ibu tanpa disadari olehnya memberikan perhatian yang kurang adil pada anaknya (anaknya ada tiga orang). Dari angle kamera dapat terlihat dengan jelas kekecewaan si anak saat tidak mendapatkan perhatian seperti saudaranya yang lain. Saat itu juga saya langsung trenyuh dan teringat pada saat kejadian mengabaikan perhatian pada anak kedua saya.
Perasaan sih menjadi orang tua yang adil tidaklah sukar, namun ternyata sangat sulit menerapkannya kalau secara tidak kita disadari memberikan labeling tertentu kepada si anak. Dari artikel-artikel yang saya baca, sebaiknya orang tua memberikan respon spesifik atas perilaku dan bukan karena kepribadiannya (karakter). Mungkin yang terpenting dari segalanya bahwa kewajiban orang tua adalah memberikan bekal ilmu dan menghantarkan anak-anaknya menjadi mandiri dan berguna bagi agama, bangsa dan negara serta bermanfaat kepada sesama manusia.
*sedangberkilasbalikdenganmenaruhtulisanlamalagidenganeditanbaru*
NE
Berawal saat si sulung (kelas 3 SD) memiliki masalah dalam belajar khususnya di sekolah, dimana konsentrasi belajarnya (bisa dibilang mogok belajar deh karena selama hampir 3 bulan, buku tulisnya kosong) tiba-tiba hilang padahal di kelas 1 dan 2 tidak ada masalah sama sekali. Bersamaan dengan itu, si bungsu baru saja lahir dan cukup membutuhkan perhatian khusus terkait dengan kesehatannya. Sebagai orang tua, tentu saja ingin memberikan solusi atas permasalahan diatas.
Sebagai gambaran karakter si sulung adalah directive, goal-oriented (kalau udah mau sangat sulit untuk merubahnya), rule unconscious (cenderung mengabaikan peraturan), un-organized (tidak terorganisasi khususnya untuk urusan sekolah), high achieving (hanya untuk yang dia tertarik saja), competitive, terakhir self ego yang tinggi dan menyebabkan kurang banyak teman.
Sebaliknya karakter anak kedua (saat itu duduk di TK B) sangat teratur apalagi yang terkait dengan sekolah, well organized dengan barang-barangnya, rule consicious (penurut dan mengikuti peraturan dengan baik), logic thinking, responsible, dan very tolerant sehingga memiliki teman yang banyak di sekolah.
Akhirnya saya membawa si sulung ke psikolog anak dengan harapan dapat memberikan perubahan cepat kepadanya agar tidak terlalu tertinggal pelajarannya. Niat awal hanya membawa si sulung, namun akhirnya anak kedua saya daftarkan juga tapi saat mendaftarkan dia, kami rada bingung waktu ditanya apa masalahnya hingga dibawa ke psikolog karena memang selama ini He is a nice boy.
Singkat cerita, ternyata anak kedua terkena (istilahnya) sindrom anak tengah yang merasa terabaikan karena perhatian saya dan istri terfokus dengan si sulung yang punya masalah belajar dan si bungsu yang bermasalah dengan kesehatannya. Being A Nice Kid ternyata salah satu upaya dia mendapatkan perhatian lebih dari saya dan istri namun reaksi saya dan istri malah merasa hal itu biasa saja.
Begitu mendengar penjelasan psikolog (atas hasil observasinya), kami langsung merasa bersalah karena tidak sengaja melakukan diskriminasi (kalau boleh ambil istillah ekstrimnya) perhatian. Kami merasa dia bisa mandiri dan tanpa ekstra perhatian dapat melakukan kegiatan sebagai pelajar pada umumnya.
Pernah saya menonton acara Nanny 911 di Metro TV, pada episode tersebut seorang ibu tanpa disadari olehnya memberikan perhatian yang kurang adil pada anaknya (anaknya ada tiga orang). Dari angle kamera dapat terlihat dengan jelas kekecewaan si anak saat tidak mendapatkan perhatian seperti saudaranya yang lain. Saat itu juga saya langsung trenyuh dan teringat pada saat kejadian mengabaikan perhatian pada anak kedua saya.
Perasaan sih menjadi orang tua yang adil tidaklah sukar, namun ternyata sangat sulit menerapkannya kalau secara tidak kita disadari memberikan labeling tertentu kepada si anak. Dari artikel-artikel yang saya baca, sebaiknya orang tua memberikan respon spesifik atas perilaku dan bukan karena kepribadiannya (karakter). Mungkin yang terpenting dari segalanya bahwa kewajiban orang tua adalah memberikan bekal ilmu dan menghantarkan anak-anaknya menjadi mandiri dan berguna bagi agama, bangsa dan negara serta bermanfaat kepada sesama manusia.
*sedangberkilasbalikdenganmenaruhtulisanlamalagidenganeditanbaru*
NE
20 comments:
yang baju merah kayaknya saya dah kenal pak Neck.. kalau gak salah namanya Ajif ya?
beruntung deh pak Necky teliti mengamati perubahan pada si anak tengah, kalau tidak? hmmm kasihan deh bisa nelangsa dia nantinya.
Hai Pak Necky, saya membaca tulisan ini, memilih untuk berkaca pada pengalaman saya waktu kecil.
Saya ingat bagaimana keluarga seringkali lebih memperhatikan adik saya karena fisiknya lebih menarik, sehingga mau tidak mau saya merasa terabaikan. Saya ingat bagaimana awal-awal saya berupaya menarik perhatian, dan tentu saja itu gagal, lalu saya memilih untuk menarik diri dari pergaulan, mungkin itu sebabnya saya jadi antisosial. Saya berharap orang tua saya memperhatikan saya lebih intens waktu itu, tapi apa daya saya hanya seorang anak yang "tidak kelihatan".
Orang tua kadang-kadang lupa bahwa mereka harus berlaku adil, mereka sudah merasa melakukannya padahal bagi anak-anak mereka itu belum terjadi. Mungkin akan lebih baik jika orang tua mau sekali-sekali emrasakan "repotnya" menjadi seorang anak, daripada berpikir terus-menerus dari sudut pandang mereka sebagai orang tua. Mungkin, jika orang tua bersikap seperti itu, perasan terabaikan seperti yang saya alami waktu kecil dulu, tidak akan terjadi.
Salam kenal, Pak Necky. :)
Kebetulan, saya juga tiga bersaudara dan saya kebagian jadi anak sulung ;)
Dengan dua orang adik laki-laki, otomatis saya merasa harus bisa menjadi rule model bagi adik-adik saya. Apalagi saya perempuan, konon katanya, anak perempuan itu lebih cepat dewasa dibandingkan anak laki-laki.
Adik laki-laki yang nomor dua, berperilaku seperti putra pertama Necky, dan yang nomor tiga justru mirip-mirip dengan saya hanya saja dia lebih pendiam.
Setelah kami bertiga dewasa, ternyata sifat itu tidak melekat tetap. Akan ada masa dimana lingkungan mewarnai perilaku dan watak mereka. Mudah-mudahan saja warna itu adalah warna yang lebih baik ya...
Semoga amanah membesarkan anak-anak ini bisa dilaksanakan dengan optimal oleh Necky dan isteri.
Amin.
Wah namanya juga hubungan saudara.
Yang penting orang tua harus pintar dalam membagi perhatiannya.
pengetahuan baru buat saya Mas Necky.
istilah adil dalam memberikan perhatian kepada anak, adalah istilah yang sering sekali kita dengar.. namun bukan berarti mudah dalam implementasinya.
Kisah Mas Necjy ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi kita para orang tua... :)
Met siang pak necky..3 buah hati yang manis,cantik dan ganteng...:)
wah pelajaran berharga saya dapat disini, saya yang masih belajar jadi orangtua...yah belajar terus menerus dari pengalaman yah pak ..juga sharing dari teman seperti misalnya cerita pak necky ini tentang karakter 3 buah hati...:) hmm...semoga kita bisa manjadi orangtua yang baik, menjaga amanah dari allah swt yang diberikan kepada kita...:)
thank komentnya yah pak di voting bunda carrefour..meramaikan dan berbagi tips aja pak..hehehe dah jiper kalo voting memvoting :)
bro akbar....ya siapa lagi kalau bukan ajif....hehehehe. Semuanya seperti yang sudah diberikan jalan oleh Allah bro....
saya juga punya 3 anak mas, memang ada benarnya juga, karena biasa perhatian kita selalu kepada yang sulung dan bungsu, sehingga anak yang tengah ini selalu mencoba mencari perhatian dengan ulah yang bermacam-macam....thanks telah mengingatkan mas
semoga pengalaman vicky bisa menjadi bahan renungan yang baik buat saya, vicky sendiri apabila nanti menjadi orang tua, maupun semua orang yang membaca pengalamannya. Kita jangan sampai terjebak dengan cara berpikir kita sendiri sehingga tidak mau mendengar masukkan dari pengalaman orang lain....salam kenal kembali semoga sering2 mampir ya vicky
terima kasih atas doanya mbak irma, semoga semuanya sesuai dengan rencana dan keinginan kita semua. Memang bener faktor lingkungan sangat mempengaruhinya, terima kasih atas share pengalamannya. Mudah2an bisa menjadi contoh bagi kami semua mbak...salam buat orang2 garut :-)
betul banget mbak yenny, semoga saya bisa membagi perhatian seadil2nya.
Ternyata tidak gampang untuk bersikap adil ya mas? Karena ternyata, keadilan yang kita kira sudah cukup diterapkan dengan benar, eh tanpa disadari ternyata ada yang merasa terabaikan.
Sungguh sharing yang sangat membuka mata saya, memang sih, I only have one child, tapi saya jadi mikir nih, sudah cukup adilkah kasih sayang saya terhadap kedua orang tua saya?
Hati sih berkata iya, tapi saya akan menimbang dan memikirkannya lagi, agar keduanya mendapatkan perhatian yang seimbang tanpa ada hati yang merasa terabaikan.
trims mas Necky for share! :)
Bersikap adil memang tak mudah ya Mas. Dulu saya dan abang saya juga selalu merasa orang tua pilih kasih padahal kami hanya berdua, hehehe....
benar banget mbak anna...yg penting kalau sbg orang tua tidak henti2nya belajar menjadi adil
uda ded...insya Allah ya...
mama kinan...semoga kita bisa menjaga titipan Allah sebaik2nya...dan semoga menang di kontesnya deh...
Syukurlah Necky langsung datang ke psikolog sehingga bisa mengetahui kekurangannya sebagai orangtua. Anak sulungku termasuk anak baik, rajin, dan sejak kelas 4 mulai bermasalah...kami langsung membawa ke psikolog dan sejak itu berlangganan dengan psilolog.
Bagaimanapun kita ingin yang terbaik bagi anak-anak kita kan..kadang kita tak tahu bahwa yang kita lakukan salah atau kurang tepat.
iya bu enny...karena saya pikir psikolog itu khan punya banyak pengalaman dalam menganalisa perkembangan anak. Dari pada saya dan istri meraba-raba dan butuh waktu yg lama, dengan psikolog dapat memberikan solusi yg relatif lebih cepat
saya juga anak k2 dari 4 bersaudara pak...hehehe
Post a Comment