Like fanspagenya SENTILAN

Thursday 18 December 2014

A Self Reflection: Di Daerah Bencana

 logo1
Kalau om enha buat suatu kontes, saya selalu salut dengan beliau karena originalitas dan ide yang out of the box. Dalam kontes kali ini, saya 'dipaksa' untuk instropeksi diri atas tulisan yang pernah saya posting di blog ini selama setahun (2014). Ternyata pula ada yang bikin senyum sendiri tatkala membaca satu persatutulisan2 tersebut. Ada beberapa tulisan yang menurut saya pantas dan layak dibahas namun karena syaratnya hanya boleh mengulas satu artikel saja ...sayapun jadi bingung.

Tadinya saya mau memilih mengupas tulisan yang bercerita tentang seorang pemimpin namun takutnya jadi kontroversi. Akhirnya pilihan jatuh kepada artikel "Pengalaman Di Area Bencana". Alasan memilih ini karena tidak membicarakan tentang citra diri atau leadership seseorang, namun sebuah pengalaman pertama berada ditengah-tengah bencana alam yakni saat Gunung Kelud meletus.
Seharusnya perjalanan ke Jogyakarta di bulan Februari adalah perjalanan refreshing setelah melakukan maraton perundingan serikat pekerja dengan perusahaan. Kebetulan saat perundingan dilangsungkan, saya mewakili pekerja. Gejolak emosi dan fisik banyak menyita stamina dan tenaga. Apalagi sebagai pemegang amanah dari rekan pekerja lain, saya merasa kurang berhasil memperjuangkan semua keinginan mereka. Jadi perjalanan dinas ke Jogyakarta merupakan penutupan hasil serangkaian perundingan yang berjalan cukup alot hingga berbulan-bulan.

Saya juga ingat, bagaimana rombongan memutuskan mencari tiket kereta api untuk pulang ke Jakarta saat diberitakan sejumlah bandara ditutup karena hujan abu. Sebuah keputusan cepat sangat dibutuhkan saat dalam keadaan serba darurat. Jam 5 pagi, hujan abu kemudian jam 7 ada pengumuman bandara ditutup, jam 9 pagi itu juga kita sudah memesan tiket kereta api untuk pulang ke Jakarta. Saat tiba di stasiun KA, keadaan masih lenggang itu juga kami sudah kehabisan tiket hari itu....hingga terpaksa pulang dengan jadwal pagi-pagi keesokan harinya.

Pada tulisan ini saya juga cerita bahwa bencana itu tidak menurunkan niat orang untuk beribadah, karena masjid tetap menyelenggarakan sholat Jumat dan tetap ramai didatangi jemaah. Hujan abu di Jogyakarta melumpuhkan pariwisata dan berdampak kepada penduduk lokal dalam mencari rizqi namun mereka tetap semangat karena keyakinan mereka kalau rizqi itu sudah ada yang mengatur.

Kelemahan tulisan ini menurut saya adalah kurang kuat menmberikan background tulisan, sehingga pembaca seakan-akan disuruh menelan semua tulisan yang disajikan. Terus terang, untuk mencari kelemahan tulisan sendiri itu sangat tidak mudah. Perbaikannya untuk masa datang ya...harus kuat dalam memberikan gambaran latar belakang atau background sehingga oembaca lebih mudah memahami tulisan.

Angan-angan untuk hunting fotografi selama di Jogya, menjadi tinggal kenangan semata. Mau street hunting di malioboro, sunset di candi Borobudur, dsb jadi batal. Manusia boleh punya rencana segudang, tapi kalau Sang Maha Kuasa menentukan tidak sesuai dengan rencana......ya apa boleh buat.

Yang pasti selama di area bencana, saya belajar bagaimana melakukan evakuasi pengunjung (candi Borobudur), merasakan perjalanan berat dari Magelang ke Jogya hingga harus mampir ke masjid untuk menyiram mobil yang penuh dengan abu vulkanik agar kami dapat lebih mudah berkendara, membuat keputusan cepat untuk keluar dari permasalahan, merasa 'kecil' di hadapan-NYA.

 “Postingan ini diikut sertakan dalam lomba tengok-tengok blog sendiri berhadiah, yang diselenggarakan oleh blog The Ordinary Trainer”

NE

4 comments:

The Ordinary Trainer said...

Saya datang dan sudah membaca “Self Reflection” di blog ini
Terima kasih telah berkenan untuk ikut lomba saya ya
Semoga sukses

Salam saya
#75

Lidya Fitrian said...

saya sempat baa postinganny a Pak Necky yang waktu bencana itu. Apa kabar pak? maaf baru bisa mampir kembali

Idah Ceris said...

Salut ya, Pak. Kewajiban juma'atan tidak ditinggal krn suatu bencana.

Zizy Damanik said...

Saya juga pernah mengalami saat-saat pusing harus menulis dengan jelas dan tidak mengawang-awang. Biasanya kalau sudah tidak konsen, saya tak paksakan melanjutkan. Cari ide dulu...